Kamu.. Kita...

Kamu...
Beberapa hari belakangan ini kulihat raut wajahmu secerah mentari di pagi hari.
Adakah sesuatu yang membiusmu? Hingga hampir tak dapat kubedakan antara goresan raut wajahmu yang tergambar di pagi hari dengan apa yang engkau nampakkan di petang ini.


Kamu...
Aku tahu kamu, aku kenal kamu melebihi siapa pun di dunia ini.
Tapi tak sedikit pun sekarang aku mendapatimu layaknya seseorang yang selama ini kumengerti.
Adakah sesuatu yang telah merubahmu? Hingga membuatku seolah terpana atas semua yang baru saja kulihat di hadapanku sekarang.


Kamu...
Tahukah kamu? Aku senang sekaligus khawatir dengan apa yang terjadi denganmu beberapa hari belakangan ini.
Bukan... Bukan karena aku ingin menutupi kelengahanku atas apa yang baru kusadari tentangmu, hingga engkau akan memaafkan kesalahanku. Jangan pula engkau berfikir kekhawatiranku hanya karena aku ingin menghilangkan rona ceria yang senantiasa terpancar itu.


Kamu...
Jika senyummu itu karena bahagia atas pujian orang, maka bersedihlah...
Jika dadamu itu semakin membusung karena rejeki yang seolah-olah semakin mudah kamu dapatkan, maka takutlah suatu saat rejeki itu yang akan menghantam kembali dadamu hingga sesak...


Kamu...
Ingatkah kamu? Saat dalam satu kesempatan kamu pernah membalas pujian teman-temanmu tentang kebaikan yang kamu lakukan dengan doa, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui sedangkan dia tidak... Sesungguhnya segala kebaikan hanyalah milik-Mu..."
Ingatkah kamu? Saat dalam satu kesempatan yang lain kamu pernah saling mengingatkan dengan Ibumu, adik-adikmu, bahkan teman2mu... Bahwa sejatinya rejeki yang datang semata-mata hanyalah karena Allah, hingga tidak perlu berlebihan dalam urusan rejeki ini?


Ah, kamu pasti masih ingat...
Ketika seorang dari saudaramu pernah mengingatkan bahwa manusia itu laksana rembulan di malam purnama. Terang dan selalu ingin menampakkan sisi terangnya, meski sebenarnya ia memiliki sisi gelap di bagian lain.


Kamu...
Itulah kamu. Saat ini mungkin banyak yang melihatmu dari sisi terang dirimu, maka berbahagialah karena Allah masih menutupi sisi lainmu itu.. Dan bersedihlah, jika dengan semakin dipuji, sikapmu justru semakin menjadikan Allah enggan menutupinya lagi.


Kamu...
Tundukkan.. tundukkan kepalamu, rendahkan bahumu itu..! Ingatlah akan buku yang kamu baca hari ini, ingatlah akan salah satu bab yang berjudul "Pemutus Semua Kenikmatan".
Sudah siapkah kamu, andai ia menjemputmu?


Lagi-lagi Kamu...
Kamu pasti mengerti apa yang aku katakan ini. Dengarlah, aku tidak lebih baik darimu, namun aku juga tidak lebih buruk darimu.
Kamu tahu kan, bahwasanya aku tak bisa berkata lagi saat mengetahui Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata,
"Aku mencintai orang-orang shalih, meski aku bukanlah bagian dari mereka... Dan aku membenci para pemaksiatNya, meski aku hampir sama dengan mereka."


Dan Kamu...
Jika seorang Imam Syafi'i bisa berujar demikian, bagaimanalah halnya dengan kita! Bersedihlah... karena kita belum bisa sehebat para pendahulu kita, belum bisa sepandai guru-guru kita, belum bisa berbuat banyak untuk diri kita sendiri, apalagi untuk orang lain.


Wahai Kamu...
Bayangan yang terpantul di cermin tepat dihadapanku hari ini, yang memiliki rupa, bentuk dan gerakan sama denganku.
Mungkin akan lebih baik jika aku akhiri saja dulu perjumpaan denganmu hari ini..
Aku akan beranjak dari hadapan cermin ini, hingga aku tak melihatmu.


Semoga Kamu, Kita...
Masih diberikan peluang itu, peluang untuk bertobat ke pada Al-Affuwu.. Allah Yang Maha Pemaaf dan Penerima Taubat.
Semoga kita tetap dinaungi dalam ridho dan kasih sayang Allah, Ar-Rahman, Ar-Rahim.
Semoga Allah Al-Wadudu... Senantiasa memberikan kita kecintaan pada-Nya, pada apa yang dicintai-Nya, dan pada orang-orang yang selalu mengejar cinta-Nya...

0 comments:

Copyright © 2008 - Goresan Waktu - is proudly powered by Blogger
Blogger Template